Banyak yang skeptis ketika mantan presiden Soeharto dinyatakan mengalami kerusakan otak permanen sehingga tak dapat menjalani persidangan.
Perasaan meragukan itu kian kuat justru setelah membaca buku Memoar Romantika Probosutedjo: Saya dan Mas Harto ini.
Dari beberapa kisah, Probosutedjo mengungkapkan, kondisi kesehatan sang kakak memang menurun. Tapi ingatan dan emosinya tetap terkontrol dengan baik.
Buktinya, Soeharto--yang biasa disapa "mas" oleh Probo--masih bisa membesuk sang adik, yang tengah menjalani perawatan di sebuah rumah sakit di Rawamangun pada 2007.
Keduanya lantas digambarkan terlibat pembicaraan hangat, dan mengabarkan kondisi kesehatan masing-masing.
"Saya ceritakan semuanya, bagaimana saya membina para napi mengembangkan pertanian di sana. Dia tertawa senang," tutur Probo.
Kesan bahwa daya ingat dan pikir Soeharto masih baik bisa disimak pada bab penutup buku setebal 681 halaman ini. Di situ Probo bersaksi, sang kakak pada akhir masa hidupnya pernah bertanya soal demokrasi dan Pancasila.
"Apa anak-anak sekarang masih mengikuti penataran P-4?" "Masih." Dan dia tersenyum dengan lega.
Penulisan memoar yang diluncurkan bertepatan dengan ulang tahun ke-80 Probosutedjo, 1 Mei lalu, itu dibantu oleh Alberthiene Endah. Alberthiene, mantan wartawan majalah perempuan, dikenal sebagai penulis biografi para selebritas di Tanah Air, seperti Krisdayanti, Chrisye, Titik Puspa, dan pengusaha sinetron Raam Punjabi.
Buku yang dibagi menjadi 17 bab ini juga mengungkapkan betapa Probosutedjo sebagai adik seorang presiden justru kehilangan peluang dan kesempatan karena tak direstui Soeharto.
Ia tiga kali gagal menjadi Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri. Dia juga gagal menjadi Gubernur DKI Jakarta pada awal 1990-an.
Padahal Menteri Dalam Negeri Rudini kala itu telah merestuinya. Sang penjegal utama kemudian diketahui tak lain adalah Soeharto.
Bukan karena Soeharto takut dianggap nepotisme. Tapi figur militer seperti mantan Pangdam Jaya Surjadi Sudirja-lah yang dikehendaki.
Soeharto pun pernah kesal ketika Probosutedjo membentuk Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia.
"Itu namanya menyiram api dengan bensin." Pada kesempatan lain, kata Probo, sang kakak pernah menghardiknya karena dinilai terlalu kritis terhadap para menteri. "Kalau kamu terus mengkritik para menteri, nanti hidupmu susah. Bisa keleleran kamu, enggak bisa usaha apa-apa!"
Pembelaan terhadap diri sendiri maupun terhadap Soeharto menjadi tak terhindarkan dalam memoar ini.
Toh, sejarah memang tak pernah bisa utuh menceritakan masa lalu. Dan setiap orang punya hak dan dapat mengungkapkan kenyataan masa lalunya.
Tentang polemik serangan umum 1 Maret 1949, Probo mengaku mendapat penjelasan langsung dari Soeharto bahwa itu adalah murni inisiatifnya.
Soehartolah yang menyampaikan rencana itu kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX saat pertama kali melihat anak sulungnya yang baru lahir, Tutut.
Kalaupun kemudian peran itu diragukan, kata Probo, kakaknya tak pernah sakit hati. "Yang penting kita sudah merdeka," ujarnya mengutip Soeharto.
Pada bagian lain, Probosutedjo mengungkapkan kegeramannya terhadap sikap para elite dan publik pada umumnya, yang menilai bahwa sosok Soeharto setelah lengser seolah pribadi tanpa jasa, penuh hina semata.
Ia, misalnya, mempertanyakan sikap Amien Rais, yang biasa mengkritik Soeharto secara vulgar.
Padahal, menjelang Muktamar Muhammadiyah di Aceh, yang memilihnya sebagai ketua umum, Amien pernah mendatangi Soeharto untuk meminta bantuan dana.
"Mas Harto lalu memberinya sejumlah dana dan meminta saya pula untuk memberikan tambahan. Apakah Amien Rais tidak malu meminta uang kepada Fir'aun?" kata Probo.
Meski tak terlalu menohok, mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan pun disentil Probosutedjo dalam kaitan dengan proses hukum perkara korupsi hutan tanaman industri.
Kala itu, Harini Wijoso, pengacara Probo di tingkat kasasi, menawarkan putusan bebas jika disediakan dana Rp 6 miliar.
Uang sebanyak itu, Rp 5 miliar di antaranya akan diberikan Harini ke Bagir melalui Pono Waluyo, yang diklaim sebagai orang kepercayaannya.
Berkat bantuan sahabat dekatnya, ekonom Sri Edi Swasono, Probo melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menjebak Harini dan Pono.
Beberapa saat setelah uang diserahkan, petugas KPK pun menangkap keduanya di gedung MA.
Namun, dalam pemeriksaan oleh KPK beberapa waktu kemudian, Bagir mengaku tak mengenal Harini maupun Pono, dan terhindar dari tuduhan.
"Sangat terasa, Bagir memendam kemarahan pada saya. Tim hakim yang mengadili diganti dengan formasi baru," kata Probo.
Hasilnya, pada November 2005, ia tetap dihukum empat tahun dan harus membayar ganti rugi kepada negara sebesar Rp 100,931 miliar.
Pascaputusan, Probo masih menjadi obyek pemerasan. Untuk mendapatkan surat keterangan lunas pembayaran ganti rugi seratusan miliar itu, ia dipaksa merogoh kocek Rp 4 miliar.
Namun, setelah menawar, ia cukup membayar Rp 2 miliar, dan surat pernyataan lunas pun didapatnya setahun kemudian. Probo hanya menyebutkan, si pemeras adalah sekretaris jenderal partainya menteri kehutanan saat itu.
Andai memoar ini terbit ketika para tokoh yang disebut masih memegang posisi kunci, apa yang diungkapkan Probo niscaya bakal mengguncang situasi politik nasional.
Tapi, sekarang, boleh jadi isu yang menyangkut ketiga nama yang disebut hanya dianggap sebagai igauan di usia senja.tempo