Sains Fenomena ~ European Space Agency (ESA) memperkirakan bahwa pada saat ini, ada sekitar 170 juta keping puing-puing ruang angkasa yang mengorbit bumi. Sampah ruang angkasa yang termasuk satelit yang sudah tidak berfungsi dan benda-benda buatan manusia lainnya meluncur di sekitar atmosfer bumi pada kecepatan delapan kilometer per detik, 10 kali lebih cepat dari peluru.
Sampah-sampah tersebut menimbulkan ancaman besar bagi satelit dan pesawat ruang angkasa lainnya. Sebab, tabrakan dengan sampah ruang angkasa berukuran satu sentimeter saja memiliki kekuatan energi yang setara dengan sebuah granat tangan. Namun, beberapa potongan sampah sama besarnya dengan truk.
Ketika terjadi kecelakaan seperti itu, fragmen-fragmen menjadi semakin tersebar di luar angkasa dan meningkatkan risiko kecelakaan lebih lanjut.
Ancaman ini juga nyaris dialami oleh astronot wanita Jepang kedua, Naoko Yamazaki, ketika berangkat menuju International Space Station (ISS) pada tahun 2010. "Kami menemukan retak kecil di jendela pesawat ruang angkasa. Untungnya, retak yang tidak lebih kecil dari satu inci tersebut tidak mengancam. Namun, jika kita menghantam sampah ruang angkasa yang lebih besar, bencana bisa terjadi," katanya.
Sampah ruang angkasa tidak hanya ancaman bagi penerbangan pesawat ruang angkasa yang berawak, tetapi juga untuk satelit yang akan berdampak pada kehidupan kita sehari-hari. " Satelit memiliki peran penting seperti prakiraan cuaca, komunikasi, dan GPS," terang Yamazaki.
Disitulah peran pembersih sampah ruang angkasa diperlukan.
Perusahaan layanan satelit berbasis di Singapura, Astroscale, telah merekrut tim spesialis "pembersih ruang angkasa" untuk mengembangkan teknologi yang akan menghancurkan puing-puing ruang angkasa dengan memaksa sampah-sampah tersebut turun ke atmosfer dan terbakar.
Pada tahun 2016, perusahaan ini memperoleh dana investasi sebesar 35 juta dolar AS (sekitar Rp 465 miliar) yang sebagian besar berasal dari Innovation Network Corporation of Japan.
"Dari konstruksi sampai peluncuran yang sukses, ini adalah misi yang sangat menantang," kata Miki Ito, Presiden Astroscale, seperti yang dikutip dari CNN, Kamis, (15/6/2017).
Astroscale saat ini tengah mengembangkan dua jenis satelit. Salah satunya adalah satelit mikro yang akan mengumpulkan data real time sampah ruang angkasa yang ukurannya lebih kecil dari satu milimeter. Data tersebut akan digunakan untuk mengembangkan peta puing-puing terbaru yang kemudian bisa digunakan oleh akademisi, badan internasional, dan operator satelit.
Satelit kedua, disebut sebagai End of Life Service (ELSA), akan menangkap dan menghapus pesawat ruang angkasa yang tidak berfungsi milik operator satelit.
ELSA saat ini sedang dalam tahap perencanaan, tetapi Astroscale berencana untuk menggunakan magnet dan metode sekunder untuk menangkap satelit. Setelah ditangkap, ELSA akan memaksa sampah turun ke atmosfer bumi sehingga terbakar.
"Kami melengkapi ELSA dengan kamera serta sensor sehingga bisa menentukan lokasi satelit yang akan ditangkap," jelas Ito.
Astroscale berencana akan melakukan uji coba ELSA pada Oktober 2019.
Meski tak ada peraturan yang mengharuskan pemilik untuk menghapus satelit yang tidak berfungsi, tetapi Komite Koordinasi Sampah Ruang Angkasa Antar Antariksa memiliki pedoman umum bahwa satelit dan pesawat ruang angkasa harus dikembalikan ke atmosfer bumi dalam waktu 25 tahun setelah masa operasinya berakhir.
"Kita mencoba teknologi yang belum pernah ditunjukkan sebelumnya. Jika kita tidak mencoba berkontribusi untuk membuat luar angkasa lebih bersih. Hal ini bisa menjadi ancaman bagi kehidupan kita," tambah Ito.