"Menurut saya putusan MA itu tidak mempertimbangkan semangat untuk mewujudkan pemilu bersih dan antikorupsi yang diusung oleh KPU," kata Titi saat dimintai tanggapan detikcom, Sabtu (15/9/2018).
Titi menilai PKPU tentang larangan eks koruptor maju di pileg dibuat dengan berbagai pertimbangan. Salah satu pertimbangannya yakni sinkornisasi antara aturan pilpres dan pilkada.
"Padahal dalam pandangan kami, latar belakang KPU membuat PKPU itu tidak sebatas bagaimana persyaratan untuk menjadi calon, tetapi juga bertujuan untuk membangun sinkronisasi pengaturan pencalonan dalam pemilu serentak. Karena kan, di dalam syarat calon presiden kan tidak boleh mantan terpidana korupsi dan kejahatan berat lainnya, demikian juga di dalam penyelenggaraan pilkada," papar Titi.
Titi menyadari MA punya landasan hukum dalam menganulir PKPU tentang eks koruptor nyaleg. Di mana, salah satu landasannya yakni Pasal 240 ayat 1 huruf g UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Namun, menurut Titi, aturan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 240 UU Pemilu itu tidak melihat permasalahan secara komprehensif. Dia berpendapat, Pasal 240 UU Pemilu itu baru bisa diterapkan, salah satunya jika masyarakat mengetahui secara detail rekam jejak para caleg.
"Tetapi kan MA mestinya melihat bahwa keputusan MK itu alpa melihat kondisi sosial kemasyarakatan kita saat ini bahwa prasyarat yang ada di MK itu sangat mungkin diberlakukan kalau masyarakatnya itu sudah mendapatkan pendidikan politik yang baik," ujar Titi.
"Lalu kemudian, terpapar informasi yang merata terkait dengan rekam jejak calon, dan juga keterbukaan dan transparansi, serta penegakan hukum terhadap praktik politik uang optimal," imbuhnya.
MA mengabulkan permohonan gugatan terhadap Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 yang mengatur tentang larangan eks napi korupsi maju sebagai caleg. Salah satu pertimbangan MA dalam mengabulkan gugatan tersebut karena bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Jadi, PKPU itu dinyatakan bertentangan dengan undang-undang," kata juru bicara MA Suhadi kepada detikcom, Jumat (14/9). (detik)
Titi menyadari MA punya landasan hukum dalam menganulir PKPU tentang eks koruptor nyaleg. Di mana, salah satu landasannya yakni Pasal 240 ayat 1 huruf g UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Namun, menurut Titi, aturan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 240 UU Pemilu itu tidak melihat permasalahan secara komprehensif. Dia berpendapat, Pasal 240 UU Pemilu itu baru bisa diterapkan, salah satunya jika masyarakat mengetahui secara detail rekam jejak para caleg.
"Tetapi kan MA mestinya melihat bahwa keputusan MK itu alpa melihat kondisi sosial kemasyarakatan kita saat ini bahwa prasyarat yang ada di MK itu sangat mungkin diberlakukan kalau masyarakatnya itu sudah mendapatkan pendidikan politik yang baik," ujar Titi.
"Lalu kemudian, terpapar informasi yang merata terkait dengan rekam jejak calon, dan juga keterbukaan dan transparansi, serta penegakan hukum terhadap praktik politik uang optimal," imbuhnya.
MA mengabulkan permohonan gugatan terhadap Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 yang mengatur tentang larangan eks napi korupsi maju sebagai caleg. Salah satu pertimbangan MA dalam mengabulkan gugatan tersebut karena bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Jadi, PKPU itu dinyatakan bertentangan dengan undang-undang," kata juru bicara MA Suhadi kepada detikcom, Jumat (14/9). (detik)