Peneliti The Indonesia Reform, Martimus Amin, menyesalkan upaya aparat kepolisian mengelandang Rambo Aceh. Martimus menegaskan, ketakutan rezim penguasa atas gerakan oposisi semakin menjadi-jadi.
“Ketakutan dan represifitas rezim atas ketakutannya menghadapi gelombang aksi deklarasi #2019GantiPresiden semakin menjadi-jadi bahkan aneh-aneh. Dari kekerasan penghadangan Neno Warisman, Ahmad Dhani, sampai pemaksaan penghentian penyelenggaraan diskusi dengan narasumber Rocky Gerung dan Ratna Sarumpet,” tegas Martimus (04/09).
Martimus menegaskan, tidak seharusnya Rambo Aceh diciduk dan dipaksa meminta maaf. Rambo Aceh hanya menyampaikan ekspresinya tentang tindakan orang-orang yang mengancam dengan bersembunyi di balik topeng, sebagai tindakan pengecut dan di luar tabiat orang Aceh yang gentle serta sangat menghormati tamu.
“Timbul kecurigaan di benak kita, jangan-jangan aparat yang menciduk Rambo Aceh itu adalah orang-orang bertopeng itu sendiri. Aparat tersinggung karena dianggap pengecut. Ordernya membangun opini penolakan deklarasi #2019GantiPresiden malah ketahuan. Topengnya terbongkar sendiri karena menciduk dan memaksa Rambo Aceh minta maaf karena perkataannya yang diupload di Youtube,” pungkas Martimus.
Sebelumnya, koordinator Relawan Ganti Presiden Aceh yang juga pengacara Rambo Aceh, Fazil Haitamy menegaskan, kliennya diamankan polisi pada Sabtu (01/09) malam di Desa Ujung Pandang, Kuala Nagan Raya, Aceh. Menurutnya, polisi menangkap Rambo tanpa surat apa pun.
“Rambo kemudiaan dibawa ke Polsek, di sana ia diminta untuk membuat video klarifikasi,” kata Fazil sebagaimana dilansir jpnn (02/09).
Fazil mengungkapkan, Rambo membuat video itu secara spontan. “Jadi spontan tanpa direncanakan. Sifatnya hanya merespon. Tidak ada ancaman kekerasan. Dia (Rambo, red) enggak sebut nama pihak mana pun dan tidak ada pelanggaran dalam video,” tegas Fazil. [itoday]