Bukan melihat hasil quick count atau hitung cepat yang dilakukan beberapa lembaga survei. Hal ini untuk menghindari terjadinya bentrok dan perpecahan antara anak bangsa di antara dua pendukung capres-cawapres.
"Quick count atau hitung cepat merupakan metode yang bagus untuk mengetahui sejauh mana hasil Pemilu. Namun quick count sangat bergantung dari manusia itu sendiri. Bisa saja manusianya memiliki niat dan kepentingan tertentu," kata Penasehat APDI Mayjen (Purn) TNI Suprapto dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (18/4).
Sedangkan real count atau perhitungan yang sebenarnya, lanjut dia, merupakan perhitungan yang nyata dan memenuhi persyaratan sekaligus jauh lebih mendekati kenyataan. Kecuali, kalau ada keinginan-keinginan tertentu dari penguasa atau petahana yang dipaksakan.
"Kalau ini terjadi akan ada pelanggaran hukum yang besar dan membahayakan persatuan bangsa sekaligus dapat mengganggu keutuhan negara," tegasnya.
Karena itulah, APDI mengharapkan para pendukung maupun relawan dari dua kubu paslon untuk bersabar.
"Jangan merayakan akan mengklaim kemenangan sendiri sendiri sebelum ada pengumuman resmi dari KPU," ujarnya.
Sebagai lembaga resmi penyelenggara Pemilu di Tanah Air, APDI juga berharap KPU menjaga integritas dan obyektivitas serta netralitasnya. Sehingga apapun hasil KPU dipercaya oleh masyarakat.
Mantan Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) VII Wirabuana yang saat ini namanya berganti menjadi Kodam XIV Hasanudin ini pun meminta para lembaga survei menahan diri untuk tidak jor-joran menampilkan hasil quick count-nya kepada masyarakat umum.
"Sebaiknya KPU dan Bawaslu juga meminta kepada seluruh pengelola televisi untuk menghentikan sementara seluruh penayangan hasil hitung cepat. Hal ini penting untuk keutuhan kesatuan dan persatuan bangsa," sarannya.
Ketua Umum APDI Wa Ode Nur Intan menyampaikan alasan pihaknya meminta penayangan quick count dihentikan. Selain hasil hitung cepatnya belum valid dan belum mendekati kenyataan, juga karena tidak sedikit lembaga survei yang menampilkan hasil hitung cepatnya berafiliasi dengan parpol dan kubu capres tertentu.
Jurubicara APDI Eman Sulaeman Nasim menyarankan hitung cepat diambil alih oleh perguruan tinggi yang diakui kredibilitas dan independensinya seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM) atau Universitas Brawijaya (Unibraw).
APDI sendiri merupakan lembaga pemantau Pemilu yang didirikan beberapa tahun lalu. Dalam Pemilu tahun 2019 ini, APDI merupakan lembaga pemantau yang tersertifikasi di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
"Selain itu kami juga menggandeng pemantau internasional. Agar mereka menyaksikan sendiri bagaimana proses Pemilu di Indonesia tahun ini berjalan sekaligus memberikan penilaian dan menyuarakannya di forum internasional,” papar Suprapto. [rm]