Mohamad Guntur Romli, Tim pemenangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) - Djarot Saiful Hidayat di Pilkada DKI 2017, mengomentari kritik Gubernur terpilih Anies Baswedan soal jargon 'Saya Indonesia, Saya Pancasila' yang dipopulerkan oleh Presiden Joko Widodo.
Anies sebelumnya dalam acara KAHMI di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (3/6/2017) mengatakan, baiknya jargon itu berbunyi 'Kita Indonesia, Kita Pancasila' yang menunjukan sikap kebersamaan dan saling merangkul.
"Spiritnya bagus, tapi secara tata bahasa kurang tepat. 'Kita Indonesia Kita Pancasila' lebih tepat. Kalau pakai kata saya, akan timbul pertanyaan, lalu Anda siapa? Kalau 'kita', cenderung bersama-sama dan saling merangkul," ujar Anies.
Berikut komentar Guntur Romli menanggapi pernyataan Anies, dikutip dari akun Facebooknya, Minggu (4/6/2017).
Mengapa "Saya Pancasila" bukan "Kita Pancasila"?
Jawaban untuk Anies Baswedan.
Anies Baswedan mengkritik kalimat "Saya Pancasila, Saya Indonesia" yang menjadi jargon untuk Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2017.
Kata Anies kalimat 'Saya Indonesia Saya Pancasila' terlihat tidak merangkul satu sama lain. "Kalau pakai kata saya, akan timbul pertanyaan, lalu Anda siapa? Kalau 'kita', cenderung bersama-sama dan saling merangkul."
Kritik saya, Anies tidak bisa bedakan urgensi kata "saya" dan "kita", sehingga tidak mampu membedakan urgensi "Saya Pancasila" sehingga menganggap "Kita Pancasila" lebih penting.
Saya bukan penggagas kalimat "Saya Pancasila", tapi saya mencoba memahami kalimat "Saya Pancasila" sebagai ikrar, kesaksian, pengakuan, janji setia yang merupakan kewajiban masing-masing individu.
Kalimat "Saya Pancasila" merupakan syahadat individual, yang dalam istilah agama sebagai "wajib aini" yang harus ditunaikan oleh masing-masing orang, ia bukan kewajiban opsional, kalau sudah ada yang melaksanaan maka kewajiban itu sudah gugur.
Mengapa kesaksian individual dalam frase "Saya Pancasila, Saya Indonesia" menjadi urgen saat ini?
Karena di "kita" ada mimpi, cita-cita dan tujuan berbeda dalam berbangsa dan negara, di "kita" ada "Saya Khilafah", "Saya NKRI Bersyariah", "Saya Agama tertentu" "Saya Suku tertentu" dll
"Kita" belumlah "Kita Pancasila, Kita Indonesia" karena masih adanya "saya... saya... yang mengaku berbeda".
Maka, "Saya Pancasila" jadi semacam panggilan, sejenis peringatan untuk masing-masing dari "kita" yang berarti adalah "saya" untuk berikrar, bersaksi dan mengakui "Saya Pancasila".
Setelah "Saya Pancasila" menjadi kesadaran, pengakuan, dan penerimaan dari "semua saya" maka dengan otomatis akan terbentuk "Kita Pancasila".
"Saya Pancasila" bukan klem, seperti yang disalahpahami. "Saya Pancasila" bukan berarti yang lain tidak Pancasila meski sudah mengaku Pancasila, kecuali "saya" itu berkata: "Hanya Saya Pancasila", maka itu sudah klem.
Menerima Pancasila harus menjadi kesadaran dan penerimaan individual, karena "Kita" yang tidak terbentuk dalam kesadaran dan penerimaan masing-masing individual, maka "kita" hanya ilusi, atau "kita" yang dibentuk berdasarkan paksaan, penyeragaman, atau hanya ikut-ikutan bukan karena kesadaraan, penerimaan dan kesaksian.
Maka di sini lah urgensi pengakuan dan kesaksian individual terhadap penerimaan Pancasila yang tidak tergantikan dengan istilah "kita". Jangan sampai "saya" meninggalkan kewajiban individual yang harus ditunaikan namun ngeles, jangan sampai "saya" yang bukan "Saya Pancasila" malah menyusup ke "Kita Pancasila" karena dia tidak diberi kewajiban dan tuntutan untuk mengakui Pancasila.
Jangan sampai "Kita Pancasila" malah jadi jargon untuk merangkul bahkan memberi tempat bagi para penyusup--seperti yang jadi jargon Anies--"merangkul", akhirnya dirangkul FPI, pelaku kekerasan, persekusi dan radikalisme.
Anies mencoba menjadikan kata "kita" sebagai sihir untuk kebersamaan, tapi "kita" yang ada FPI, HTI dan para pendukung politisasi SARA.
"Indonesia tanah airku,
Tanah tumpah darahku,
Di sana lah aku berdiri,
Jadi pandu ibuku..."
"Indonesia tanah air beta,
Pusaka abadi nan jaya...."
Aku, Beta, Saya...
Maka, "Saya Pancasila, Saya Indonesia"