SETIAP memasuki bulan Januari, diantara kita senantiasa diingatkan pada peristiwa bersejarah yang terjadi tahun 1966 dan Malari 1974.
Pada tahun 1966, para pemuda, pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksis Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), melakukan aksi demonstrasi mendatangi DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Mereka mengajukan tiga tuntutan atau lebih dikenal dengan Tritura, Tiga Tuntutan Rakyat. Yakni Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya, Perombakan kabinet Dwikora, dan turunkan harga pangan.
Kemudian tahun 1974, terjadi Malari (Malapetaka Limabelas Januari). Ini merupakan peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial pada 15 Januari 1974.
Aksi tersebut melahirkan Tritura Baru 1974. Tiga tuntutan rakyat waktu itu adalah bubarkan lembaga Asisten Pribadi Presiden (Aspri), turunkan harga dan ganyang korupsi.
Oknum Jenderal
Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma Jakarta. Namun karena dijaga ketat aparat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara.
Menjelang kepulangan ke Jepang tanggal 17 Januari 1974, PM Jepang itu berangkat tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara Halim Perdanakusuma.
Aksi demonstrasi mahasiswa tersebut kemudian ditunggangi oleh oknum jenderal sehingga aksi tersebut berubah menjadi kerusuhan dan penjarahan. Akhirnya, Presiden Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib. Demikian juga jabatan Asisten Pribadi Presiden dibubarkan. Kepala Bakin, Sutopo Juwono digantikan oleh Yoga Soegomo.
Salah satu pelaku sejarah yang sampai sekarang masih hidup adalah Hariman Siregar. Dulu dia adalah ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM UI) sekaligus pimpinan aksi massa pada saat terjadi peristiwa Malari.
Atas komando Hariman Siregar, para mahasiswa melakukan long march dari kampus UI di Salemba menuji menuju Kampus Universitas Trisakti, di Jl Kiai Tapa, Jakarta Barat.
Namun di penjuru lain Jakarta waktu itu, juga berlangsung aksi massa. Salah satu yang paling mencekam terjadi di Pasar Senen. Di sana, massa membakar proyek kompleks pertokoan yang baru saja dibangun.
Tritura 1966
Lain lagi dengan cerita pada bulan Januari 1966. Ketika gelombang demonstrasi menuntut pembubaran PKI semakin keras, pemerintah waktu itu tidak segera mengambil tindakan.
Keadaan Indonesia waktu itu sudah sangat parah. Harga barang naik sangat tinggi terutama Bahan bakar minyak (BBM). Oleh karenanya, pada tanggal 12 Januari 1966, KAMI dan KAPPI memelopori kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR-GR menuntut Tritura.
Isi Tritura Tahun 1966: Pembubaran PKI, Perombakan kabinet Dwikora dan turunkan harga pangan.
Tuntutan pertama dan kedua sebelumnya sudah pernah diserukan oleh KAP-Gestapu (Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September). Sedangkan tuntutan ketiga baru diserukan saat itu. Tuntutan ketiga sangat menyentuh kepentingan orang banyak.
Pada tanggal 21 Februari 1966, Presiden Soekarno mengumumkan reshuffle kabinet. Dalam kabinet itu duduk para simpatisan PKI. Kenyataan ini menyulut kembali mahasiswa meningkatkan aksi demonstrasinya. Tanggal 24 Februari 1966 mahasiswa memboikot pelantikan menteri-menteri baru. Dalam insiden yang terjadi dengan Resimen Tjakrabirawa, Pasukan Pengawal Presiden Soekarno, seorang mahasiswa Arif Rahman Hakim meninggal.
Pada tanggal 25 Februari1966 KAMI dibubarkan, namun hal itu tidak mengurangi gerakan-gerakan mahasiswa untuk melanjutkan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).
Rentetan demonstrasi yang terjadi menyuarakan Tritura akhirnya diikuti keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) oleh Presiden Soekarno yang memerintahkan kepada Mayor Jenderal Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Tokoh Mahasiswa
Salah satu tokoh Mahasiswa 1966 yang sampai sekarang masih hidup adalah Cosmas Batubara. Pada masa mahasiswanya, dia adalah Ketua Presidium Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan Ketua Presidium KAMI Pusat.
Dia adalah Pelopor Gerakan Mahasiswa Angkatan 66 atau lebih dikenal dengan Eksponen 66. Belum lama ini penulis berkesempatan menemui Cosmas Batubara, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat untuk keperluan penulisan buku Biografi Mar'ie Muhammad, Mantan Menteri Keuangan yang juga Ekaponen 66.
Meski usianya telah senja, namun Cosmas Batubara masih bersemangat menceritakan kiprah dan psrjuangannya selama menjadi mahasiswa Universitas Indonesia (UI).
Dia masih bisa berbicara runtut dan daya ingatnya masih tajam. Kendati demikian, kini Cosmas harus berjuang dengan penyakit kanker getah bening yang dideritanya.
Di saat badannya merasa sehat, Cosmas masih menyempatkan diri berolahraga, bermain golf di Rawamangun Jakarta.
Krisis Kedaulatan Bangsa
Setiap zaman melahirkan generasi dan sejarah tersendiri. Dan setiap generasi memiliki tantangan dan masalah tersendiri. Namun, sejarah juga bisa berulang pada zaman dan generasi yang berbeda.
Kini setelah periode pasca reformasi. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menghadapi berbagai persoalan dan tantangan serta perubahan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik.
Pasca reformasi, Indonesia boleh dibilang sebagai negara yang penuh dengan gonjang ganjing. Dalam lima tahun terakhir ini, NKRI dihadapkan dengan persoalan dan krisis kedaulatan bangsa.
Kendati Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah, namun manfaatnya tidak dirasakan langsung oleh masyarakat. Kendati Indonesia dipimpin Presiden seorang pribumi, namun yang merasakan hasilnya warga non pribumi, asing dan aseng.
Awalnya Presiden Joko Widodo berjanji untuk menegakkan kedaulatan bangsa di bidang politik, ekonomi, dan budaya. Namun buktinya, perekonomian kita dijajah oleh kekuatan modal dari China Tiongkok. Investasi besar-besaran sejumlah investor China di daerah Sulawesi, menunjukkan hal itu. Investor China mengerjakan proyek dengan modal dan tenaga kerja mereka sendiri untuk mengeruk sumber daya mineral milik NKRI.
Problem kedaulatan bangsa ini juga terjadi di dalam kehidupan politik. Suka tidak suka, realitanya sekarang telah terjadi kartel politik dan oligarki parpol. Kebijakan pemerintah dan produk hukum di parlemen lebih ditentukan oleh transaksi politik diantara parpol-parpol yang mempunyai kepentingan sesaat.
Jika Kita kilas balik pada tuntutan rakyat dalam Tritura yang disuarakan mahasiswa tahun 1966 maupun 1974, ada benang merah yang sama yakni menuntut diturunkannya harga-harga.
Dalam kondisi sekarang pun sama, rakyat kebanyakan sudah sangat menderita dengan kenaikan berbagai kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itu, untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, Tritura Tahun 2019 adalah Mengganti Presiden RI melalui Pemilu, turunkan harga dan usir Tenaga Kerja Asing (TKA) China. Itulah Tritura zaman now.
Masihkah kita mau mempertahankan keadaan seperti sekarang terus berlanjut? Hanya orang bodoh yang mau jatuh di lubang yang sama. Hanya orang dungu yang mau memilih Presiden yang gagal menepati janji-janjinya.[rmol]