Faktanya, data per Selasa (23/4/2019), Pemilu 2019 sudah menelan 167 nyawa. Rinciannya, 119 petugas KPPS meninggal, 33 anggota panwaslu dan 15 anggota Polri.
Sementara Bawaslu mencatat setidaknya ada 7.132 pelanggaran selama hajatan politik lima tahunan ini digelar.
Anggota Dewan Penasihat BPN Prabowo-Sandi, Hidayat Nur Wahid (HNW) menilai pelaksanaan pemilu serentak 2019 menjadi pesta demokrasi terburuk yang digelar setelah reformasi. Sebab, banyak ditemukan masalah dari mulai persiapan hingga pelaksanaan pemilu.
“Saya sudah menyatakan itu sebelum Pak Bambang (Soesatyo) ngomong. Ini adalah terburuk sepanjang zaman reformasi,” kata HNW di Komplek DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (23/4).
Masalah yang sempat dibahas HNW yaitu terkait temuan Bawaslu terhadap 17 juta lebih warga yang tidak mendapat undangan mencoblos. Serta beberapa kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) yang sengaja mengarahkan untuk memilih salah satu pasangan calon.
“Bawaslu juga menyampaikan ada 5.500 lebih KPPS yang tidak netral karena mengarahkan calon tertentu. Bahkan, sampai-sampai KPU menyatakan ada 2.500 TPS yang tidak bisa menyelenggarakan pencoblosan pada tanggal 17 April kemarin,” imbuhnya.
“Tapi anehnya dengan kondisi semacam itu lembaga survei sudah kemudian yakin dengan hasil surveinya dan membentuk opini seolah-olah ini semua sudah selesai. Ini kan tragedi,” sambungnya.
Pandangan berbeda disampaikan Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN), Jokowi-Ma’ruf, Ace Hasan Syadzily. Ia menilai pemilu kali ini sukses digelar. Alasannya partisipasi masyarakat saat ini sudah semakin bertambah.
“Tingkat partisipasinya itu sampai 80 persen, itu menunjukan partisipasi masyarakat sangat tinggi sekali pada pemilu saat ini. Jadi menurut saya tak benar bila pemilu 2019 ini adalah pemilu terburuk, karena kita lihat dari tingkat partisipasinya,” tambahnya.
Ace menduga, penilaian pemilu terburuk ini sengaja dilontarkan kubu opisisi sebagai bentuk respon kalah dalam penghitungan cepat atau quick count. Seharusnya jika memang BPN 02 menemukan kecurangan, maka bisa menempuh jalur hukum, bukan menyalahkan penyelenggara pemilu.
“Karena saluran politiknya sudah ada. Jadi tak benar kalau dikatakan demikian (pemilu terburuk). Saya melihat bahwa pernyataan itu muncul karena dipicu kekalahan mereka terhadap hasil quick count,” pungkasnya.[ps]